Sabtu, 07 Oktober 2017

Syirkah : Pengertian, Rukun dan Syarat-Syarat Serta Macam-Macamnya

Pengertian Syirkah

Syirkah atau yang juga disebut dengan Musyarakah mempunyai pengertian atau definisi secara bahasa adalah campuran dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian syirkah secara istilah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang telah bersepakat dalam melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan bersama. 
Islam sangat menganjutkan bagi para pemilik modal untuk melalkukan syirkah. Hal ini dikarenakan diantara pekerjaan atau proyek-proyek ada yang sangat membutuhkan modal yang tidak sedikit, baik itu modal yang berupa uang, tenaga, pikiran dan lain sebagainya. Modal yang besar tersebut tentunya tidak dapat ditanggung oleh seorang saja, tetapi dibutuhkan banyak orang untuk saling bekerja sama agar hasil dari usaha tersebut baik dan maksimal.

Rukun dan Syarat Syirkah

Setelah mengetahui tentang definisi dari syirkah, maka selanjutnya adalah rukun dan syarat syirkah. Dan berikut ini adalah rukun dan syarat syirkah :
1. Rukun dan syarat syirkah yang pertama adalah masing-masing pihak yang melakukan syirkah mempunyai syarat harus mempunyai kemampuan dalam mengelola harta yang dimilikinya.
2. Rukun dan syarat syirkah yang kedua adalah obyek akad yang mencakup modal dan pekerjaan. Syaratnya pekerjaan atau benda syirkah adalah halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3. Akad (ijab qabul) atau sghat dengan syarat ada aktifitas pengelolaan.
Syirkah : Pengertian, Rukun, Syarat dan Macam-macam
Syirkah : Pengertian, Rukun, Syarat dan Macam-macam

Macam-macam syirkah

1. Syirkah inan 
Macam syirkah yang pertama adalah syirkah inan, definisi dari syrikah inan ini adalah suatu syirkah yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih, yang masing-masing pihak memberi konstribusi kerja dan modal yang sama.
2. Syirkah Abdan
Definisi dari macam syirkah yang kedua adalah syirkah atara dua belah pihak atau lebih dimana masing-masing pihak hanya memberikan konstribusi kerja tanpa konstribusi modal dan keuntungannya dibagi menurut kesepakatan bersama. Contoh dari syrkah abdan di Indonesia seperti PT (Perseroan Terbatas), Koperasi, CV (Commander Ventschap) dll.
3. Syirkah wujud 
Pengertian dari syirkah wujud adalah syirkah yang didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau keahlian seseorang ditengah masyarakat. Syirkah wujud adalah syirkah antara dua belah pihak dimana masing-masing memberi konstribusi kerja dengan pihak ketiga yang memberikan modal dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan diantara mereka. 
Dalam hal ini pihak yang memberi konstribusi kerja adalah tokoh masyarakat. Contoh syirkahh ini misalnya iklan di TV yang memanfaatkan arti sebagai bintang iklan. Artis sebagai public figur (tokoh masyarakat) bekerja sebagai bintang iklan. Artis sebagai public figur bekerja pada perusahaan pemilik modal untuk memasarkan produk-produk merekaa pada perusahaan pemilik modal untuk memasarkan produk-produk mereka.
4. Syirkah Mufawadlah 
Definisi dari syirkah mufawadlah adalah syirkah antara dua belah pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah diatas. Sendangkan keuntungannya dibagi menurut kesepakatan.
 
Sumber: http://www.kitapunya.net/2015/09/syirkah-pengertian-rukun-syarat-dan.html

Produk -Produk Perbankan Syariah

Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberi­kan perbankan kepada nasabahnya.

1.  Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
  1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
  2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
  3. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual-beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang mengguna­kan prinsip sewa yaitu ijarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank di­tentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prin­sip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk per­bankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adaiah musyara­kah dan mudharabah.
1.1. Prinsip Jual Beli (Ba’i)           
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menja­di bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti:
a. Pembiayaan Murabahah
Murabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai muraba­hah. Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok di­tambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan da­lam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
b. Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diper­jualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam trans­aksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan bar­ang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasa­bah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjual­nya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridg­ing financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berla­kunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum Salam:
  • Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp5000 / kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
  • Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
  • Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau di­pesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.
c. Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (­termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syar­iah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Ketentuan umum:
  • Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati di­cantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah sela­ma berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pe­sanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditang­gung nasabah.

1.2. Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahaan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.

Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perban­kan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang dii­kuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.

1.3. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
a. Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyara­kah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara ber­sama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah se­mua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dima­na mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasa­ma dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.

Ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal ber­hak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindak­an seperti:
  • Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
  • Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
  • Memberi pinjaman kepada pihak lain.
  • Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau di­gantikan oleh pihak lain.
  • Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
¥ Menarik diri dari perserikatan
¥ Meninggal dunia,
¥ Menjadi tidak cakap hukum
  • Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
  • Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana terse­but bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b. Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudhara­bah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dima­na pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama de­ngan kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab un­tuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan se­bagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola mo­dal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal ha­nya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah mo­dal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudhar­abah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak ha­rus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan me­rusak ajaran Islam.

Ketentuan umum
  • Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang       atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
  • Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
¥ (Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
¥ (Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
  • Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
  • Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewa­jiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.

Mudharabah Muqayyadah       
Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pa­da adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan per­mintaan pemilik modal.
1.4. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya di­perlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mem­permudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini diboleh­kan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan un­tuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini seke­dar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a. Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat me­lanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah         seo­rang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.

b. Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pem­bayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
  • Milik nasabah sendiri.
  • Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
  • Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka ke­lebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi keku­rangannya.
c. Qardh                   
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum ke­berangkatannya ke haji.
Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengem­balikannya sesuai waktu yang ditentukan.
Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank me­nyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya se­cara cicilan melalui pemotongan gajinya.
d. Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apa­bila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyakarah.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tang­gung jawab nasabah.
Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-­masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha­rus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama.
Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.
e. Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mem­persyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana un­tuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
2.  Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi ah dan mudharabah.
2.1. Prinsip Wadiah
Prinsip Wadi’ah yang diterapkan adalah wadi ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam   wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam hal wadi’ah dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Karena wadi’ah yang diterapkan dalam produk giro perban­kan ini juga disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak seba­gai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika menerima titipan uang di jaman Rasulullah SAW’.
Ketentuan umum dari produk ini adalah:
  • Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai sua­tu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
  • Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
  • Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
  • Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.


2.2. Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut diguna­kan bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana terse­but digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudhara­bah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk mela­kukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi2. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip mud­harabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.

Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga yaitu:
a. Mudharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berda­sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Ketentuan umum dalam produk ini adalah:
  • Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
  • Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
  • Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak        diperkenankan mengalami saldo negatif.
  • Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti de­posito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpan­jangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
  • Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b. Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restrict­ed investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat­-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disya­ratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digu­nakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
  • Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus di­ikuti oleh bank wajib membuat akad yang mengatur persyarat­an penyaluran dana simpanan khusus.
  • Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau      pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
  • Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
  • Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
c. Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank ber­tindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan an­tara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pe­laksana usahanya.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
  • Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.
  • Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
  • Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil
  • 2.3. Akad PelengkapUntuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana, bia­sanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini ti­dak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan un­tuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluar­kan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul. Wakalah (Perwakilan)
    Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melaku­kan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
    3. Jasa Perbankan
    Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa :
    3.1. Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
    Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahan­nya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
    3.2. ljarah (Sewa)
    Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.

    Sumber: https://fathirghaisan.wordpress.com/2012/01/18/produk-perbankan-syariah-2/

Hijrah Dari Ekonomi Konvensional ke Ekonomi Syariah

Sungguh, satu hal yang luar biasa bahwa kalender atau penanggalan Islam dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Sehingga setiap bulan Muharam atau Tahun Baru Islam kita bisa selalu mengenang, sekaligus meneladani semangat Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat beliau yang harus meninggalkan harta dan tanah kelahirannya menuju sebuah peradaban baru, yakni Madinah al-Munawwarah.
Lantas bagaimana kita ingin menyelami semangat hijrah Nabi SAW dan sahabat terutama yang terkait dengan ekonomi?
Ketika Islam diturunkan di Makkah, kegiatan ekonomi di tempat itu sangat tinggi. Al-Qur’an secara khusus mengabadikan fenomena ini dalam Al-Quran Surat Quraish. Selama ratusan tahun, bangsa Arab sudah berpengalaman dalam aktivitas perdagangan. Jalur yang mereka lalui terbentang dari Yaman hingga daerah Mediterania. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang pedagang yang menikahi Khadijah al-Kubra ra, seorang janda kaya yang juga seorang pedagang. Kafilah (caravan) dagangnya melakukan perjalanan bisnis hingga Syam atau Suriah. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan berperan penting bagi penyebaran agama Islam ke berbagai penjuru dunia.
Berbagai persepsi dan tradisi mu’amalah yang dilakukan Kaum Jahiliyah  pada waktu itu seperti riba, ihtikar dan lain sebagainya, dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Islam memiliki alasan kuat untuk mengatur persoalan bisnis ini secara lebih spesifik. Kegiatan ekonomi dianjurkan sekaligus diperkaya dengan serangkaian norma-norma agama yang harus ditegakkan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera (al-falah).  
Dengan kata lain, agama dan kegiatan ekonomi bukanlah hal yang baru dalam Islam. Bahkan kegiatan ekonomi dalam Islam memiliki posisi yang sangat mulia sekaligus strategis karena bukan sekedar diperbolehkan di dalam Islam, melainkan justru diperintahkan (Q.S. Al-Jumuah: 10). Kegiatan ekonomi dalam Islam tidak hanya sekedar memperoleh keuntungan semata, jauh dari itu Islam memerintahkan umatnya untuk menggunakan sebagian hartanya untuk kemaslahatan baik dalam bentuk sedekah, zakat, wakaf, maupun hibah.
Nabi Muhammad SAW sebagai uswah hasanah juga telah mempraktikkan bagaimana cara bermuamalat atau melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Tidak sedekar mempraktikkan, Nabi juga mendidik umatnya menjadi umat yang memiliki tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial, masyarakat yang berkarakter ta’awun (tolong menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhamun (memiliki solidaritas), dan menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban, yang kerap disebut dengan masyarakat madani.
Namun, sejak +/- 2,5 abad yang lalu, lebih tepatnya sejak diterbitkannya buku  The Wealth of Nation (1776) oleh Adam Smith perihal ekonomi seolah-olah menjadi terlepas dari agama. Kegiatan ekonomi hanya dipandang sebagai kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi tanpa memandang ada nilai-nilai agama di dalamnya.
Untuk itu, dari kalangan Islam bermunculan para pemikir ekonomi Islam yang mengaitkan ekonomi dengan moral islam. Ada dua moral yang dijadikan acuan dalam ekonomi Islam, yaitu nilai dan prinsip ekonomi Islam. Nilai mencerminkan norma dalam perilaku sehingga dapat mewakili aspek normatif dan prinsip mencerminkan mekanisme perilaku sehingga bisa mewakili aspek positif. Dengan terintegrasinya ekonomi normatif dan ekonomi positif, bukan berarti teori-teori ekonomi yang berasal dari Barat dibuang mentah-mentah, namun teori-teori tersebut sebagai bahan kritik dan alat analisis bagi ekonomi islam itu sendiri.
Sebagai contoh, saat ini, dalam pengajaran ilmu ekonomi buku induk yang sangat berpengaruh di kampus-kampus terutama kampus-kampus di Indonesia adalah buku Economics yang ditulis oleh pemenang Nobel Ekonomi yang kesohor, Paul A. Samuelson, yang sejak edisi pertama 1948 hingga edisi kedelapan belas (terakhir) 2005, yang masing-masing tebalnya hampir 800 halaman, tidak ada menyebut satu pun perkataan “kerjasama, gotong-royong, kekeluargaan” (Sri-Edi Swasono, 2005). Padahal dalam Islam, paham kebersamaan dan kekeluargaan telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 10:
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Hadist nabi Muhammad SAW:
المسلمون شركاء فى ثلاث فى الماء والكلاء والنار
Orang islam itu berserikat pada tiga hal: air, rumput, dan api..”
Ayat Al-Qur’an dan Hadist di atas menjelaskan betapa pentingnya paham kekeluargaan, tolong menolong, gotong-royong dan musyawarah sebagai wujud paham kebersamaan. Hal inilah yang membedakan antara ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional.
Lalu bagaimana cara kita memulai hijrah iqtishadiyah dari ekonomi konvensional menuju ekonomi berbasis syariah?
Kita dapat memulainya dari hal-hal yang sederhana, yakni dengan memulai berbisnis atau muamalat yang jauh dari sifat Maisir, Gharar, dan Riba. Artinya dalam bisnis kita tidak boleh memproduksi barang ataupun jasa yang dapat merugikan kesehatan (maisir). Selain itu, kita juga dilarang melakukan bisnis yang sifatnya spekulasi (gharar) seperti perjudian, investasi bodong, dan lain sebagainya. Kita juga ditekankan menjauhi bisnis yang sifatnya ribawy, misalnya dalam aspek permodalan kita dapat mengaksesnya untuk mendapatkan pembiayaan dari  bank-bank syariah maupun lembaga keuangan mikro syariah seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
Hal sederhana lainnya yang dapat kita lakukan adalah dengan mulai menabung maupun menginvestasikan dana kita di bank-bank syariah. Selain itu, kita juga dapat memanfaatkan produk-produk perbankan syariah seperti dalam hal pembiayaan (permodalan) maupun produk lainnya seperti tabungan haji, dan lain-lain.
     Hal-hal sederhana di atas adalah bentuk jihad kita dalam memajukan perekonomian berbasis non-ribawi. Bisa dipandang hal ini adalah hal yang sederhana namun jika kita sebagai muslim melakukannya, akan berdampak hal yang sangat luar biasa bagi perkembangan ekonomi Islam di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
     Di akhir tulisan ini, penulis akan mengutip yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali bahwa tujuan syariah (maqasid as-syariah) adalah terpeliharanya agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Semoga hijrah iqtishadiyyah (hijrah ekonomi) yang kita lakukan merupakan jalan tercapainya tujuan syariah (maqasid as-syariah) yang tujuan utamanya adalah terciptanya falah (kebahagiaan), yakni kehidupan yang bebas dari kemiskinan, keberlangsungan hidup, dan penuh kehormatan serta terciptanya hayatan tayyibah, yakni kehidupan yang diliputi oleh rasa lega, kerelaan serta rasa syukur atas nikmat Allah. 
 
Sumber: http://www.staidu.ac.id/2016/02/hijrah-iqtishadiyah-dari-ekonomi.html