Sungguh, satu hal yang luar biasa bahwa
kalender atau penanggalan Islam dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad
SAW ke Madinah. Sehingga setiap bulan Muharam atau Tahun Baru Islam kita bisa
selalu mengenang, sekaligus meneladani semangat Rasulullah SAW dan
sahabat-sahabat beliau yang harus meninggalkan harta dan tanah kelahirannya
menuju sebuah peradaban baru, yakni Madinah al-Munawwarah.
Lantas bagaimana kita ingin menyelami semangat hijrah
Nabi SAW dan sahabat terutama yang terkait dengan ekonomi?
Ketika Islam diturunkan di Makkah, kegiatan ekonomi di
tempat itu sangat tinggi. Al-Qur’an secara khusus mengabadikan fenomena ini
dalam Al-Quran Surat Quraish. Selama ratusan tahun, bangsa Arab sudah
berpengalaman dalam aktivitas perdagangan. Jalur yang mereka lalui terbentang
dari Yaman hingga daerah Mediterania. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang
pedagang yang menikahi Khadijah al-Kubra ra, seorang janda kaya yang juga
seorang pedagang. Kafilah (caravan) dagangnya melakukan perjalanan
bisnis hingga Syam atau Suriah. Pada masa-masa
berikutnya, perdagangan berperan penting bagi penyebaran agama Islam ke
berbagai penjuru dunia.
Berbagai persepsi dan tradisi mu’amalah yang dilakukan Kaum
Jahiliyah pada waktu itu seperti riba, ihtikar
dan lain sebagainya, dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan
kemanusiaan. Oleh karena itu, Islam memiliki alasan kuat untuk mengatur
persoalan bisnis ini secara lebih spesifik. Kegiatan ekonomi dianjurkan
sekaligus diperkaya dengan serangkaian norma-norma agama yang harus ditegakkan
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera (al-falah).
Dengan kata lain, agama dan kegiatan ekonomi bukanlah hal yang baru dalam Islam. Bahkan
kegiatan ekonomi dalam Islam memiliki posisi yang sangat mulia sekaligus
strategis karena bukan sekedar diperbolehkan di dalam Islam, melainkan justru
diperintahkan (Q.S. Al-Jumuah: 10). Kegiatan ekonomi dalam Islam tidak hanya
sekedar memperoleh keuntungan semata, jauh dari itu Islam memerintahkan umatnya
untuk menggunakan sebagian hartanya untuk kemaslahatan baik dalam bentuk
sedekah, zakat, wakaf, maupun hibah.
Nabi Muhammad
SAW sebagai uswah hasanah juga telah mempraktikkan bagaimana cara
bermuamalat atau melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam. Tidak sedekar mempraktikkan, Nabi juga mendidik umatnya menjadi umat yang memiliki tatanan sosial yang baik,
berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban
individu dengan hak dan kewajiban sosial, masyarakat yang berkarakter ta’awun (tolong menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhamun (memiliki solidaritas), dan menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban,
yang kerap disebut dengan masyarakat madani.
Namun, sejak +/- 2,5 abad yang
lalu, lebih tepatnya sejak diterbitkannya buku The Wealth of Nation (1776)
oleh Adam Smith perihal ekonomi seolah-olah menjadi terlepas dari agama. Kegiatan
ekonomi hanya dipandang sebagai kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi
tanpa memandang ada nilai-nilai agama di dalamnya.
Untuk itu, dari kalangan Islam bermunculan para
pemikir ekonomi Islam yang mengaitkan ekonomi dengan moral islam. Ada dua moral
yang dijadikan acuan dalam ekonomi Islam, yaitu nilai dan prinsip ekonomi
Islam. Nilai mencerminkan norma dalam perilaku sehingga dapat mewakili aspek
normatif dan prinsip mencerminkan mekanisme perilaku sehingga bisa mewakili
aspek positif. Dengan terintegrasinya ekonomi normatif dan ekonomi positif,
bukan berarti teori-teori ekonomi yang berasal dari Barat dibuang mentah-mentah,
namun teori-teori tersebut sebagai bahan kritik dan alat analisis bagi ekonomi
islam itu sendiri.
Sebagai contoh,
saat ini, dalam pengajaran ilmu ekonomi buku induk yang sangat berpengaruh di
kampus-kampus terutama kampus-kampus di Indonesia adalah buku Economics yang
ditulis oleh pemenang Nobel Ekonomi yang kesohor, Paul A. Samuelson, yang sejak
edisi pertama 1948 hingga edisi kedelapan belas (terakhir) 2005, yang
masing-masing tebalnya hampir 800 halaman, tidak ada menyebut satu pun
perkataan “kerjasama, gotong-royong, kekeluargaan” (Sri-Edi Swasono, 2005).
Padahal dalam Islam, paham kebersamaan dan kekeluargaan telah diterangkan dalam
Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 10:
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Hadist nabi Muhammad SAW:
المسلمون شركاء فى ثلاث فى الماء والكلاء والنار
“Orang islam itu berserikat pada
tiga hal: air, rumput, dan api..”
Ayat Al-Qur’an dan Hadist di atas menjelaskan betapa pentingnya paham
kekeluargaan, tolong menolong, gotong-royong dan musyawarah sebagai wujud paham
kebersamaan. Hal inilah yang membedakan antara ekonomi syariah dengan ekonomi
konvensional.
Lalu bagaimana cara kita memulai hijrah iqtishadiyah dari
ekonomi konvensional menuju ekonomi berbasis syariah?
Kita dapat memulainya dari hal-hal yang sederhana, yakni dengan
memulai berbisnis atau muamalat yang jauh dari sifat Maisir, Gharar, dan
Riba. Artinya dalam bisnis kita tidak boleh memproduksi barang ataupun
jasa yang dapat merugikan kesehatan (maisir). Selain itu, kita juga
dilarang melakukan bisnis yang sifatnya spekulasi (gharar) seperti
perjudian, investasi bodong, dan lain sebagainya. Kita juga ditekankan menjauhi
bisnis yang sifatnya ribawy, misalnya dalam aspek permodalan kita dapat
mengaksesnya untuk mendapatkan pembiayaan dari
bank-bank syariah maupun lembaga keuangan mikro syariah seperti Baitul
Maal wat Tamwil (BMT).
Hal sederhana lainnya yang dapat kita lakukan adalah dengan mulai
menabung maupun menginvestasikan dana kita di bank-bank syariah. Selain itu, kita
juga dapat memanfaatkan produk-produk perbankan syariah seperti dalam hal
pembiayaan (permodalan) maupun produk lainnya seperti tabungan haji, dan
lain-lain.
Hal-hal sederhana di atas
adalah bentuk jihad kita dalam memajukan perekonomian berbasis non-ribawi.
Bisa dipandang hal ini adalah hal yang sederhana namun jika kita sebagai muslim
melakukannya, akan berdampak hal yang sangat luar biasa bagi perkembangan
ekonomi Islam di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di akhir tulisan ini, penulis
akan mengutip yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali bahwa tujuan syariah
(maqasid as-syariah) adalah terpeliharanya agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan. Semoga hijrah iqtishadiyyah (hijrah ekonomi) yang kita lakukan
merupakan jalan tercapainya tujuan syariah (maqasid as-syariah) yang tujuan
utamanya adalah terciptanya falah (kebahagiaan), yakni kehidupan yang
bebas dari kemiskinan, keberlangsungan hidup, dan penuh kehormatan serta
terciptanya hayatan tayyibah, yakni kehidupan yang diliputi oleh rasa lega, kerelaan serta rasa syukur atas
nikmat Allah.
Sumber: http://www.staidu.ac.id/2016/02/hijrah-iqtishadiyah-dari-ekonomi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar